Minggu, 25 Mei 2008

Sinar Secerah Mentari Seredup Bola lampu

Sinar Secerah Mentari Seredup Bola lampu

Berhias kataku mengukir kelelahan menjejak hidup bersama semilir semangat yang hancur serta menyurut. Ketertarikan mengacu pada sebuah kalimat yang saling menyaut pada lembar-lembar putih kertas yang berwujud namun muksa pada mata yang melihat. Membagi diri pada kisah yang terlanjur larut dan menyatu mengubah hidup, entah hidup siapa dan siapa, aku juga tak tahu. Hidup adalah sebuah kedamaian hati dan rasa pada sosok yang mengagumi indahnya ketenangan serta keamanan , menikmati langkah demi langkah setiap hirup. Harmoni kisahku sungguh adalah jalan hidup yang wajib kutapaki dan kuhadapi apapun yang hadir di setiap langkahku memijak pada pijakan kisah kehidupan. Dan hakekat hidup untukku dan mungkin akan bias menjadi sebuah prinsipil untuk sebagian yang membaca kisah ini adalah hidup merupakan tanggung jawab dan perjalanan menapaki jalan yang terkadang lurus serta berujung yang sangat jauh sekali, terkadang berbelok dan terbentur pada jalan buntu, terkadang hanya sebatas mata memandang dan jalan itu telah habis, maka itu hidup merupakan hal yang memang hakekatnya perjalanan, jalankanlah sesuai dengan apa yang memang pantas dijalankan serta tanggung jawab pada setiap kemampuan.

Pecahan serajut jalan setapak menghadang pada pandangan akan titik sinar penuh keindahan, berpendar bercampur peluh yang membasah pada kain yang terbentang pada jalur yang kulangkahkan kakiku padanya. Inikah terang...begitu hati ini menyahut pertanyaan sebelah hati yang berkata...mereka memang saling bertanya padahal terletak di tempat yang sama. Hati satu berkata dan belahan lain yang menjawab, hati satu bertolak dan hati belahan lain menerima. Kehidupan yang terukir pada setiap kain kehidupan akan selalu menghadirkan waktu-waktu yang tak tahu kapan hati selalu setuju dan saat justru hati bertempur beradu argumentasi. Inilah yang kukatakan sinar secerah mentari dan seredup bola lampu, kita tak tahu kapan hati kita berkata penuh kebaikan dan kapan hati kita mulai meredup karena kurangnya cahaya keimanan di dalamnya atau bahkan sinar itu telah sirna ditelan keburukan akhlak yang terbina melalui waktu serta letak diri. Inilah puncak kehidupan yang di dambakan ketika nikmat akan penghirupan akan segera pergi, saat tiada sinar lebih cerah dari hati yang mencoba menyucikan dari noda yang memang mudah sekali tertoreh, seperti segelas susu murni yang tercampur setetes air kopi...ia akan berubah tidak seputih sebelum tetesan kopi merusak wujudnya. Seperti itulah hati secerah mentari begitu putih dan mahal. Pemiliknya adalah kekaguman, keindahan dan dambaan setiap hirupan.

Aku adalah manusia, aku adalah makhluk, aku adalah ciptaan dari seongok tanah liat, aku adalah sesuatu yang hidup dan akan mati, aku adalah tuan rumah bagi tamuku di penghujung usia nanti, aku adalah detak, aku adalah aliran, aku adalah diriku yang tiada tahu diriku nanti bila waktuku telah sampai.

Terima kasih pada nafas-nafas yang telah bersamaku....


karya m imam supriyanto @ 2008

Tidak ada komentar: